Jumat, 21 Maret 2014

ANALISIS PUISI DOA - CHAIRIL ANWAR

DOA
Kepada pemeluk teguh

Chairil Anwar


Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh

CahayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling


13 November 1943



Analisis Puisi DOA

Tema
Tema adalah ide pokok yang mendasari sebuah karya. Pada puisi Doa memiliki tema kepasrahan hidup kepada Tuhan. Melalui puisi penyair hendak menunjukan sikap tunduk kepada Tuhannya karena hidupnya yang sudah remuk, susah dan tidak berdaya tetapi dia tetap tidak berpaling kepada Tuhannya.

Diksi
Diksi adalah pilihan kata. Dalam puisi ini, Chairil Anwar menggunakan pilihan kata contohnya pada bait “aku mengembara di negeri asing” yang berarti kejenuhan terhadap dunia yang ditinggali saat itu.

Rima
Meskipun puisi Doa ini berbentuk bebas yang bebas dari aturan bait dan baris. Tetapi didalamnya terdapat rima u-u-u-u, contohnya pada bait pertama.

Penginderaan
Penginderaan adalah cara penyair memberikan efek indriawi terhadap puisinya. Pada puisi ini sang penyair sedang dalam keadaan kalut dan pasrah terhadap Tuhannya.

Amanat
Amanat adalah pelajaran atau pesan yang diambil dari sebuah karya. Amanat yang terdapat pada puisi ini adalah bahwa setiap manusia harus senantiasa dekat kepada sang penciptanya.


Sumber :



Sabtu, 15 Maret 2014

MENGENAL KEBUDAYAAN SUKU KAREN - THAILAND

Sejarah

Suku Karen berbahasa Karen, masih dalam kelompok bahasa Sino-Tibet, mereka adalah kelompok etnis yang berada di Birma selatan dan tenggara (Myanmar). Orang Karen sekitar 7 persen dari populasi total sekitar Burma 50 juta orang. Sejumlah besar Karen juga berada di Thailand, terutama di perbatasan Thailand-Burma. Suku Karen sendiri sering bingung dengan suku Karen Merah (atau Karenni). Salah satu subkelompok dari Karen, suku Padaung dari wilayah perbatasan Burma dan Thailand, yang terkenal dengan cincin leher yang dipakai oleh para wanita. Legenda Karen mengacu pada 'sungai menjalankan pasir' yang konon begitulah cara nenek moyang mereka menyeberang. Karen banyak yang berpikir ini mengacu ke Gurun Gobi, meskipun mereka telah tinggal di Burma selama berabad-abad. Suku Karen merupakan populasi etnis terbesar di Burma setelah Bamars dan Shans. Suku Karen tinggal di daerah perbukitan 400 m, hingga ke pegunungan berketinggian di atas 800 m di atas permukaan laut.



Suku-Suku Terbuang

Kebanyakan suku Karen tinggal di daerah perbukitan yang berbatasan dengan wilayah timur dan delta Irrawaddy Myanmar, terutama di Daerah Kayin, dengan beberapa di Kayah Negara, selatan Negara Bagian Shan, Daerah Ayeyarwady, Tanintharyi Daerah, dan di bagian barat Thailand.

Sensus terakhir di Burma dilakukan pada tahun 1931. Sebuah artikel 2006 VOA memperkirakan suku Karen sebanyak tujuh juta orang di Burma. Di Thailan sebanyak 400.000 orang, di mana mereka yang terbesar dari suku-suku bukit lainnya.

Suku Karen dan suku lainnya di Maehongson adalah suku terasing dari pedalaman Myanmar. Mereka adalah suku pegunungan yang tinggal di hutan-hutan sekitar perbatasan Thailand-Myanmar. Desa-desa aslinya ada di pelosok Myanmar, serta propinsi2 Chiang Rai,Mae Hong Son dan Chiang Mai (kadang berpindah2).

Pada tahun 1949 berkecamuk perang saudara yang membuat mereka terpaksa mengungsi. Karen National Union dan kelompok gerilya suku-suku minoritas lain bertempur melawan pemerintahan Mynmar. Sejak tahun 80an hingga saat ini militer Mynmar berhasil mengusir warga dari 3 ribu desa milik Suku Karen. Suku-suku itu mendaki gunung melewati perbatasan dan tinggal di Provinsi Maehongson.

Suku terbuang ini hidup seperti pengungsi tanpa identitas di Thailand. Berdasarkan laporan UNESCO pada tahun 2008, hampir dua juta orang suku pegunungan yang tinggal di Thailand tak punya kartu identitas. Dikatakan, hampir 70 persen dari mereka tak bisa mendapat pendidikan dasar seperti anak-anak Thailand lainnya, dan 98 persen tak bisa mendapat pendidikan yang lebih tinggi.
Community Leaning Center (CLC) atau pusat Kegiatan Masyarakat di Mae Hong Son mencoba mengatasi masalah ini dengan membantu sekitar 30 anak suku pegunungan mendapatkan akses ke pendidikan yang lebih tinggi.



Pembagian suku Karen

·     Karen Merah (Red Karen) / (Kayah)
Karen Merah (Karenni) terdiri dari kelompok berikut: Kayah, Geko (Kayan Ka Khaung, Gekho, Gaykho), Geba (Kayan Gebar, Gaybar), Padaung (Kayan Lahwi), Bres, Manu-Manaus (Manumanao), Yintale, Yinbaw, BWE, Paku, Shan dan Pao. Beberapa kelompok (Geko, Gebar, Padaung). milik Kayan, subkelompok dari Red Karen.
·     Karen S'gaw
Karen kelompok terbesar dan paling tersebar luas. Banyak tinggal di Yangon, Bago (kabupaten Taungoo, dan kabupaten Tharyarwaddy), Mandalay (Pyin Oo Lwin dan Kalaw), Tanintharyi (Myeik dan Dawei), Ayeyarwaddy (kabupaten Hintharda), Karen Timur (Thanton) , Kayah Negara (Mawchi) dan Thailand (Chiang Mai). Bahasa Karen S'gaw adalah bahasa umum untuk sebagian besar orang Karen. Dalam istilah Karen, Karen S'gaw disebut Htee Bar.
·    Karen Pwo
Karen Pwo Timur tinggal di bagian barat Thailand dan daerah Kayin, Myanmar; Karen Pwo Barat tinggal di Irrawaddy, Burma. Dalam istilah Karen, Karen Pwo disebut Mo Htee.
·    Karen Putih
Sebagian besar Karen Putih tinggal dekat Pyinmana, Mandalay. Dalam istilah Karen, Karen Putih disebut Ka Nyaw Wah.
·    Karen Paku
Karen Paku tinggal di Taungoo, Bago, Kayah Negara, Mawchi dan timur Kayin, Thandong. Orang Karen Paku berbahasa sama dengan Karen S'gaw.

Di Provinsi Maehongson sebelah utara Kota Bangkok-Thailand, hiduplah beberapa suku gunung yang berasal dari Burma atau Myanmar. Diantaranya Suku Akha, Suku Karen, Suku Lisu dan sebagainya. Mereka adalah komunitas suku-suku yang memiliki latarbelakang sejarah dan kebudayaan unik.
Namun di antara suku-suku itu, Suku Karen yang dianggap paling unik. Di leher wanita-wanita Suku Karen dipasang gelang logam berwarna keemasan. Gelang-gelang ini fungsinya untuk membentuk leher dan kaki mereka agar lebih panjang, karena menurut adat mereka, semakin panjang leher wanitanya maka mereka akan dianggap semakin tampak cantik.

Yang lebih unik lagi alasan mereka mengenakan gelang-gelang itu dilatarbelakangi kebudayaan turun temurun serta kepercayaan bahwa wanita Suku Karen berasal dari seekor Burung Phoenix. Bagi orang Suku Karen, phoenix adalah nenek moyang wanita yang berpasangan dengan naga yang dianggap sebagai nenek moyangnya para pria suku itu.

Berat gelang besi di leher wanita dewasa mencapai 5 kg dan gelang kaki di bawah lutut beratnya masing-masing 1 kg. Berarti setiap hari mereka membawa beban 7 kg. Gelang tersebut mulai dipakaikan sejak mereka berusia 5  tahun. Awalnya hanya 2-3 tumpuk gelang, dan setiap 2-3 tahun sekali tumpukan gelang ditambah sampai mereka mencapai usia 19 tahun dimana gelang-gelang tadi digantikan dengan gelang besi yang terbuat dari 1 besi lonjor panjang yang dibentuk melingkar / dililitkan ke leher mereka. Gelang itu bisa dilepas tapi proses pelepasannya sendiri tidak mudah dan hanya dilakukan pada saat menikah, melahirkan dan meninggal dunia.

Berat gelang-gelang itu mendorong tulang selangka, tulang bahu dan tulang rusuk turun. Sehingga secara otomatis leher wanita-wanita karen memanjang. Semakin panjang, mereka merasa semakin mirip dengan Burung Phoenix nenek moyang mereka.

Fungsi lain dari gelang-gelang itu adalah sebagai pelindung. Dulu waktu mereka masih tinggal dipegunungan, mereka sering terlibat kontak dengan binatang buas seperti harimau, beruang dan sebagainya. Umumnya, binatang buas  menyerang manusia pada bagian leher dan tenggorokan. Untuk itulah gelang-gelang itu berfungsi sebagai pelindung bagi kaum hawa Suku Karen. Namun keunikan wanita Suku Karen bukan tak beresiko. Kaum wanita di suku ini kebanyakan hidup sampai umur 45-50 tahun saja. Kabarnya karena berat gelang yang mencapai 7 kg, dipercaya telah merusak tulang leher seiring bertambahnya usia mereka.

Agama

Pada awalnya suku Karen adalah Animisme, kemudian karena pengaruh orang Sen yang penganut Buddha yang dominan di Burma, merekapun mulai menganut Buddha sampai pertengahan abad 18. Tha BYU, yang pertama kali mengkonversi ke agama Kristen pada tahun 1828, dibaptis oleh Rev George Boardman, rekan Adoniram Judson, dari American Misi Baptis Masyarakat Luar Negeri. Hari ini, orang Karen sebagian besar menganut agama Kristen dari Gereja Katolik atau Gereja Protestan. Beberapa denominasi Protestan terbesar adalah Baptis dan Advent Hari Ketujuh. Seperti yang dilansir wikipedia bahwa penganiayaan terhadap penganut Kristen oleh penguasa Burma masih terjadi hingga hari ini, sehingga mendorong kaum imperialis Barat untuk membagi negeri ini tidak hanya pada etnis tapi pada alasan agama.

Bahasa

Bahasa Karen, masuk dalam anggota kelompok Tibeto-Burman dari keluarga bahasa Sino-Tibet, terdiri dari tiga cabang dialek yang saling dapat dipahami:. S'gaw, Pwo, dan Pa'o. Karen Merah dan Kayan adalah cabang dialek S'gaw. Bahasa-bahasa Karen sangat unik di antara bahasa Tibet-Burman dalam memiliki urutan kata subyek-kata kerja-obyek; selain Karen dan Bai, bahasa Tibet-Burman fitur urutan subyek-obyek-verba. Anomali ini mungkin karena pengaruh bahasa Sen dan Thai.

Sumber :